Berita Terkait :
SELAMA KAMU TIDAK KENAL DENGAN NEGERIMU, MAKA KAMU TIDAK AKAN MERASA MEMILIKINYA . SELAMA KAMU TIDAK KENAL DENGAN NEGERIMU, MAKA KAMU TIDAK AKAN MERASA MEMILIKINYA

Home » » Asal Usul Suku Bangsa Di Provinsi Bengkulu

Asal Usul Suku Bangsa Di Provinsi Bengkulu

Di Propinsi Bengkulu terdapat cukup banyak suku bangsa yang memiliki ciri-ciri budaya sendiri. Setiap suku bangsa tersebut memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Suku-suku bangsa yang telah hidup secara turun temurun di Propinsi Bengkulu antara lain adalah : suku bangsa Rejang; suku bangsa Serawai, suku bangsa Melayu Bengkulu, suku bangsa Pasemah, suku bangsa Lembak, suku bangsa Muko-Muko, Suku bangsa Enggano, suku bangsa Kaur dan sebagainya.
Dari berbagai suku bangsa yang hidup di Bengkulu tersebut, mayoritas penduduk asli berasal dari suku bangsa Rejang (yang tersebar di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara) dan Serawai --- yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini fokus utama yang menjadi sorotan adalah kehidupan dan adat istiadat suku bangsa Rejang dan Serawai, tanpa bermaksud untuk mengabaikan keberadaan suku-suku bangsa lainnya.

1. Suku Bangsa Rejang.

Asal usul suku Rejang hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas. Kisah-kisah mengenai suku Rejang sampai saat ini hanya didasarkan pada keterangan-keterangan ahli Tembo dan Adat Rejang. Menurut Tembo dan Adat Rejang, suku Rejang berasal dari Bedaracina yang datang ke Daerah Bengkulu melalui Pagarruyung dan menetap di suatu lembah subur, yang kemudian mereka sebut Renah Sekalawi. Orang pertama yang memimpin suku bangsa Rejang adalah Sutan Sriduni.
Setelah berkembang, keturunan rombongan pertama yang dipimpin oleh Sutan Sriduni menganggap bahwa Renah Sekalawi merupakan tanah asal-usul mereka. Dalam perkembangan selanjutnya suku Rejang terbagi dalam empat kelompok besar yang disebut Petulai. Keempat Petulai tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut Ajai. Keempat Ajai tersebut adalah :

a. Ajai Bintang, memimpin di Sadei (desa) Pelabai Lebong yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara;

b. Ajai Siang, memimpin di Sadei Siang Lakat yang terletak di Marga Jurukalang Kecamatan Lebong Selatan;

c. Ajai Malang, memimpin di di Sadei Bandar Agung yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara; dan

d. Ajai Begelang Mato, memimpin di Sadei Kutai Belek Tebo, yang terletak di Marga Suku VIII Kecamatan Lebong Selatan.

Selanjutnya suku Rejang didatangi oleh empat orang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya yang mampu menanamkan pengaruhnya kepada suku Rejang. Keempat bangsawan ini kemudian kawin dengan puteri-puteri para Ajai dan selanjutnya diangkat menjadi pimpinan ke empat Petulai. Keempat bangsawan Sriwijaya tersebut diberi gelar Bikaw (berasal dari kata Biku atau Biksu) dan masing-masing memimpin satu kesatuan kekeluargaan yang diberi nama sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Para Bikaw dan kelompok masyarakatnya tersebut adalah :

a. Bikaw Sepanjang Jiwo, memimpin Marga Tubai yang terletak di Pelabai;
b. Bikaw Bermano, memimpin Marga Bermani yang terletak di Kutei Rukam dekat dusun Tes sekarang;
c. Bikaw Bejenggo, memimpin marga Selupuak yang terletak di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe;
d. Bikaw Bembo, memimpin marga Jurukalang yang terletak di Suka Negeri dekat Tapus (hulu Sungai Ketahun).

Keempat kelompok masyarakat di bawah pimpinan para Bikaw kemudian disebut Rejang Empat Petulai (Jang Pat Petulai), yang terdiri dari Petulai Tubai (Tubai), Petulai Jurukalang, Petulai Selupuak dan Petulai Bermani. Pada masa itu di setiap Petulai terdapat Kuteui (desa yang berdiri sendiri) sebagai suatu kelompok masyarakat hukum adat di bawah Petulai. Kepala Kuteui di sebut Tuai Kuteui dan dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Kepala Sukau/Sadei.
Dari generasi ke generasi Petulai-Petulai tersebut tersebar ke wilayah-wilayah sepanjang aliran sungai Musi, Sungai Ketahun, Sungai Kelingi, pesisir pantai, dan tempat-tempat lainnya. Dalam tembo tempat-tempat perpindahan ini disebut Sindang Empat Lawang, Sindang Beliti, Ulu Musi, Renah Pesisir dan Renah Ketahun.
Di sekitar awal abad XVII Masehi, diadakan permufakatan besar suku bangsa Rejang yang dipimpin oleh Petulai dan pecahan-pecahan Peulai dari keempat wilayah Lebong. Permufakatan besar ini bertujuan untuk membina persatuan dan kesatuan suku bangsa Rejang. Keputusan-keputusan penting dari permufakatan besar tersebut antara lain :

a. Seluruh daerah yang didiami oleh suku bangsa Rejang dibagi dalam empat Luak, yaitu Luak Lebong, Luak Ulu Musi, Luak Lembak Beliti dan Luak Pesisir.

b. Pecahan-pecahan Petulai Tubai di luar wilayah Lebong diakui keberadaannya dan disebut Migai (Merigi), sedang pecahan di dalam wilayah Lebong disebut Sukau Delapeun (Suku VIII) dan Sukau Semilan (Suku IX).

c. Pemberian gelar Depati bagi para pemimpin Petulai, yaitu :

1) Depati Pasak Bumi bagi Sapau Lanang, pemimpin Petulai Bermani di Kuteui Rukam;
2) Depati Rajo Besar bagi Rio Tado, pemimpin Petulai Jurukalang di Tapus;

3) Depati Tiang Alam bagi Ajai Malang, pemimpin Petulai Selupuak di Atas Tebing;
4) Depati Kemala Ratu bagi Ki Pati, pemimpin pecahan-pecahan petulai Sukau Delapeun di Karang Anyar.

d. Dalam bidang pertahanan dan keamanan diadakan pembagian tugas sebagai berikut :

1) empat orang pemimpin Sindang Empat Lawang dan lima orang pemimpin Sindang Beliti menjaga ancaman musuh dari Timur;

2) sebelas orang pemimpin dari Renah Pesisir dan tujuh orang pemimpin Renah Ketahun menjaga ancaman musuh yang datang dari laut.

Pemerintahan kolektif di seluruh suku bangsa Rejang di mulai saat ini dengan pimpinan keempat Depati tersebut bersama-sama. Oleh sebab itu, pemerintahan kolektif empat Depati ini disebut dengan istilah pemerintahan Depati Tiang Empat. Koordinator pemerintahan ini adalah Ki Pandan, pimpinan pecahan petulai Sukau Semilan yang berkedudukan di Bandar Agung dengan gelar Rajo Depati.
Selanjutnya suku bangsa Rejang memiliki satu kesatuan pimpinan adat yang dipegang oleh Depati Tiang Empat. Segala perselisihan adat atau bila ada kekacauan dilaporkan kepada Depati Tiang Empat yang memutuskan kata akhir. Demikian pula apabila ada keturunan pecahan petulai Tubai di luar Lebong mengalami kesulitan dan kekurangan akan hal adat.
Pemerintahan kolektif Depati Tiang Empat ini terus berjalan secara turun-temurun hingga sampai pada awal penjajahan Belanda (1860/1860 Masehi). Namun setelah itu secara bertahap, pemerintah penjajah mulai menghilangkan eksistensi pemerintahan Depati Tiang Empat ini.
Suku bangsa Rejang telah mengenal tulis baca karena mereka telah memiliki huruf tersendiri yang disebut oleh sebahagian ahli sebagai tulisan Rencong. Masyarakat Rejang sendiri menyebut tulisan mereka sebagai huruf Ka Ga Nga. Huruf ini dahulu dapat digunakan oleh para pemimpin suku bangsa Rejang, Palembang, Serawai, Komering dan Lampung. Perbedaan huruf Rencong dari masing-masing suku bangsa tersebut memang ada, tapi tidaklah banyak.

2. Suku Bangsa Serawai.

Suku bangsa Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu Selatan yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo Pino, Kelutum, Manna dan Seginim. Suku bangsa Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang pindah ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan sebagainya.
Secara tradisional, suku bangsa Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura dan peternakan untuk kebutuhan hidup.
Asal-usul suku bangsa Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku bangsa Serawai hanya diperoleh dari uraian atau ceritera dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan mana yang bernilai sejarah dan mana yang bukan. Ada satu tulisan yang diketemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Kecamatan Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.
Berdasarkan ceritera para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap. Sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit, serunting Sakti minta suatu daerah untuk didiaminya dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan puteri Tenggang.
Di dalam Tembo Lebong terdapat ceritera singkat mengenai seorang puteri yang bernama puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut sedangkan kisah puteri Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.
Apabila kita simak ceritera tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama puteri Tenggang. Diceriterakan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta pada Puteri Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi perkawinan antara putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.
Setelah perkawinan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu : Semidang Tungau; Semidang Merigo; Semidang Resam; Semidang Pangi; Semidang Babat; Semidang Gumay dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah yang kemudian hari menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :

a. Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
b. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
c. Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT);
d. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
e. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
f. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat; dan
g. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.

Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal bakal suku bangsa Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.
Dalam istilah daerah Rejang, suku bangsa Serawai sering disebut Jang Sawei (Rejang Serawai). Dari sini kita dapat mengetahui bahwa suku bangsa Rejang menganggap bahwa suku bangsa Serawai merupakan salah satu pecahan dari Suku bangsa Rejang atau sejak dulu sudah berasimilasi dengan suku bangsa Rejang. Hal ini mungkin ada benarnya, banyak tarian adat suku bangsa Rejang yang memiliki banyak kesamaan dengan tarian adat suku Serawai, terlebih lagi bila kita menyimak kisah tentang puteri Senggang di atas.
Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya. Sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan di antara orang-orang Serawai sangat kuat. Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :

a. Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti Cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah sungai yakni Sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Campang;

b. Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bernakna Celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara dan disitulah anak raja tersebut membangun negeri.

c. Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti Gadis atau Perawan. Pendapat ini mendasarkan diri pada ceritera yang mengatakan bahwa suku bangsa Serawai adalah keturunan sepasang suami-isteri. Sang Suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan isterinya adalah seorang puteri atau gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Lebong, puteri atau gadis disebut Selawai. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.

Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya huruf Ka Ga Nga suku Rejang, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku bangsa Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan tulisan Ka Ga Nga pada huruf Rejang. Oleh sebab itu tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin suku-suku bangsa Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.

Bengkulu, 27 Mei 1996.

(Drs. Musiar Danis, M.Sc).
Share this article :

Posting Komentar

SARI BERITA PENTING

 
Support : Creating Website | AntonOnline | Template
Copyright © 2011. ANTON ONLINE - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger